Sabtu

HUKUM PERSENTUHAN ANTARA LELAKI DENGAN PEREMPUAN

Disusun dari berbagai sumber oleh GUS TAQI

Masalah hukum persentuhan kulit antara lelaki dengan perempuan sangat beragam. Para ulama di antara empat madzhab yang masyhur pun turut berbeda pendapat. Hal ini didasarkan pada perbedaan dalil yang digunakan dan penafsiran di antara mereka dalam menafsirkan kata Au-lamastumun nisaa (QS Annisaa ayat 43).

Sebagai muslim yang awam terhadap dalil-dalil suatu hukum, maka sebaiknya bersandar kepada arahan ulama yang diakui kredibilitas keilmuannya. Karena, bila kita harus mengumpulkan beberapa hadits untuk setiap masalah, sangat tidak memungkinkan. Maka sebuah keniscayaan bahwa bagi kita yang awam, dianjurkan untuk berpegang ke salah satu madzhab. Di antara empat madzhab yang ada, Madzhab Imam Syafi’i diakui sebagai satu madzhab yang mementingkan kehati-hatian (ihthiyath) dalam bertindak. Termasuk dalam masalah persentuhan ini, beliau memilih ihthiyath, yakni lebih baik menghukumi persentuhan kulit antara kulit lelaki dengan perempuan sebagai bentuk pembatalan wudlu.

Menurut pendapat Imam Syafi’i RA, menyentuh lain jenis yang bukan mahram itu dapat membatalkan wudlu, baik yang menyentuh atapun orang yang disentuh. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji:
لَمْسُ الرَّجُلِ زَوْجَتَهُ أَوِ الْمَرْأَةَ اْلأَجْنَبِيَّةَ مِنْ غَيْرِ حَائِلٍ فَإِنَّهُ يَنْتَقِضُ وُضُوْءُهُ وَوُضُوْءُهَا، وَاْلأَجْنَبِيَّةُ هِيَ كُلُّ امْرَأَةٍ يَحِلُّ لَهُ الزَّوَاجُ بِهَا.
“Seorang lelaki yang menyentuh istrinya atau perempuan ajnabiyyah (yang bukan mahramnya) tanpa penghalang, maka wudlu lelaki itu menjadi batal. Yang dimaksud dengan ajnabiyyah (perempuan lain) adalah setiap wanita yang halal dinikahi.” (Al-Fiqh al-Manhaji, juz I, hal. 63)

Pendapat ini didasarkan pada firman Allah SWT:
“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau kembali dari buang air atau kamu menyentuh perempuan lain (yang bukan mahramnya), kemudian kamu tidak menjumpai ai, maka bertayammum-lah kamu dengan tanah yang baik (suci).” (QS Al-Nisa, ayat 43)

Dalam al-Muwattha (sebuah kitab hadits tertua karya Imam Malik), disebutkan:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ: قُبْلَةُ الرَّجُلِ امْرَءَتَهُ وَجَسُّهَا بِيَدِهِ مِنَ الْمُلاَمَسَةِ، فَمَنْ قَبَّلَ امْرَءَتَهُ أَوْ جَسَّهَا بِيَدِهِ فَعَلَيْهِ الْوُضُوْءُ.
“Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata: Kecupan seorang suami kepada istrinya dan menyentuh dengan tangannya termasuk mulasamah (persentuhan). Maka siapa saja yang mengecup istrinya atau menyentuhnya, maka ia wajib melakukan wudlu.” (Al-Muwattha, juz II, hal, 65)

Lalu, bagaimana dengan hadits yang menjelaskan persentuhan Nabi SAW dengan sebaian istrinya padahal Nabi SAW dalam keadaan suci dari hadats kecil, seperti dalam hadits ‘Aisyah RA, maka hal itu harus diartikan bahwa Nabi SAW ketika itu menggunakan penghalang, sehingga kulit beliau tidak bersentuhan langsung dengan kulit istrinya. Sebagaimana keterangan Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’.
اَلْجَوَابُ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فِيْ وُقُوْعِ يَدِهَا عَلَى بَطْنِ قَدَمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ يَحْتَمِلُ فَوْقَ حَائِلٍ.
“Jawaban atas hadits ‘Aisyah RA tentang menyentuhnya tangan beliau ke tumit Nabi SAW, maka hal itu menggunakan tabir (penghalang)”. (Al-Majmu’, juz II, hal 22).
Untuk mempertegas dalil batalnya wudlu karena persentuhan kulit lelaki dengan perempuan tanpa penghalang, Imam Syafi’i menafsirkan QS Annisa ayat 43 sebagai berikut. Bunyi ayat tersebut secara lengkap adalah sebagai berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.”

Dalam ayat tersebut terdapat dua aturan (ketentuan syar’i) sebelum mendirikan shalat. Pertama, kewajiban mandi janabat bagi yang berhadats besar. Kedua, tayammum sebagai pengganti wudlu bagi orang yang berhadats kecil seperti setelah buang hajat dan persentuhan kulitlelaki dengan perempuan yang bukan mahram. Dengan memahami dua hal ini, jelas sekali yang dimaksud mulasamah itu bukan persentuhan dalam arti persetubuhan. Karena, masalah hadats yang disebabkan janabat sudah dibahas pada poin sebelumnya, yakni harus dengan mandi. Sedangkan persentuhan kulit (yang bukan junub) cukup disucikan dengan wudlu atau tayammum. Demikian inti sari dari penjelasan Imam Syafi’i dalam Kitab Al-Umm saat menjelaskan QS Annisa ayat 43. (Untuk selengkapnya, silakan lihat Kitab Al-Umm, jilid I, halaman 54-55, penerbit Victoru Agencie Kuala Lumpur, 1989).

Adapun dalam menyentuh selain kulit, seperti menyentuh rambut, gigi, dan kuku, maka itu tidak termasuk persentuhan.

Berikut ini penyusun sajikan beberapa dalil hadits yang menjadi landasan batalnya persentuhan kulit secara zhahir.
1. “Dari Ma’qil bin Yasar dari Nabi saw., beliau bersabda: Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Thabrani dan Baihaqi)
2. Dari asy-Sya’bi bahwa Nabi saw. ketika membai’at kaum wanita beliau membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya di atas tangan beliau, seraya berkata, “Aku tidak berjabat dengan wanita.” (HR Abu Daud dalam al-Marasil)
3. Aisyah berkata, “Maka barangsiapa diantara wanita-wanita beriman itu yang menerima syarat tersebut, Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Aku telah membai’atmu – dengan perkataan saja – dan demi Allah tangan beliau sama sekali tidak menyentuh tangan wanita dalam bai’at itu; beliau tidak membai’at mereka melainkan dengan mengucapkan, ‘Aku telah membai’atmu tentang hal itu.’
4. Dalil yang terkuat dalam pengharaman sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya adalah menutup pintu fitnah (saddudz-dzari’ah), dan alasan ini dapat diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat tergerak, atau karena takut fitnah bila telah tampak tanda-tandanya. Semua pihak, terutama 4 imam besar, mendukung hal ini tanpa penolakan sedikitpun. Pada umumnya, yg memegang pendapat ini adalah mazhab Syafei, mazhab Az-Zuhri, ‘Ata’ bin As-Sa’ib, Al-Auza’ie.

Untuk mengakhiri tulisan ini, ada sebuah dalil ‘aqli (logika) yang patut kita pertimbangkan. Dalam madzhab Syafi’I dikatakan, bahwa menyentuh kemaluan sendiri, kemaluan jenazah, dubur sendiri dengan menggunakan bagian depan telapak tangan bisa membatalkan wudlu, apalagi menyentuh wanita lain yang bukan mahram, tentunya itu pun membatalkan wudlu. Karena itu, karena posisi penulis sebagai muslim awam yang masih membutuhkan arahan ulama, dan penulis sendiri memilih bermadzhab Syafi’I, maka madzhab ini berpendapat bahwa persentuhan kulit secara zhahir antara lelaki dengan perempuan yang bukan mahram, maka wudlunya menjadi batal.

Wallahu a’lam bish shawab.

Referensi:
1. Alquran Alkarim dan terjemahannya
2. Kitab Shahih Al-Bukhari
3. Kitab Hadits Al-Muwattha’ karya Imam Malik
4. Kitab Al-Umm karya Imam asy-Syafi’i
5. Kitab Al-Majmu’ karya Imam Annawawi
6. Kitab Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab Imam Asy-Syafi’I karya Mustafa Khan
7. Kitab Fiqh Fathul Qariib

Taken From : Komma Bogor's Note

1 komentar:

  1. Salam,kita tidak boleh membuat sebarang andaian dlm mentahqiq hukum.apa yg diharamkan oleh Allah itu adalah haram dan apa yg didiamkannya adalah dimaafkan.Dr Yusuf al-Qaradhawi dalam fatwanya tidak menjumpai satu dalil yg kuat pun untuk mengaramkan persentuhan kulit lelaki dan perempuan ajnabi.dan untuk menjatuhkan hukum haram mestilah dengan dalil yg sahih dan sorih.Sedikit perkongsian..Wallahualam~

    BalasHapus